* * *
“Katanya saat kecelakaan itu bu Nia sedang
berbuat mesum dengan selingkuhannya, ya?”
“Kasihan dokter Yano… dia kan sangat mencintai
istrinya…”
“Ternyata istrinya sudah sejak lama berselingkuh,
kan? Tuhan benar-benar menurunkan azabnya!”
Suara datang silih berganti, kadang hinggap,
kadang hanya lewat dan berlalu pergi. Sosok-sosok yang mengucapkannya tak
pernah terlihat jelas—namun mereka semua bewarna hitam dan menakutkan.
Ya, menakutkan.
Karena bagaimana bisa mereka mengucapkan hal-hal
kejam lalu berganti muka di hadapanku untuk mengucapkan belasungkawa?
“Jangan dengarkan, Yan…”
Ari hadir lagi dan lagi, menguatkanku hanya
dengan berada ‘di sana’. Entah bagaimana bisa ia mengatur segala urusan
pemakaman ini, melengkapi semua surat-surat yang datang, berbicara dengan
orangtua Nia, lalu tetap menemaniku dengan siaga seakan tengah menjaga Kristal
rapuh yang mudah runtuh.
Ego kelelakianku mencemooh dengan kejam saat aku
dipapari kenyataan bahwa aku memang selemah itu.
Hanya saja, sekuat apapun mencoba, aku bahkan tak mampu untuk mengangkat
kepala.
Bagaimana aku bisa menghadapi dunia tanpa Nia?
Bagaimana aku bisa menghadapi kenyataan bahwa ia bukan saja sudah pergi, namun
juga meninggalkanku tanpa penjelasan—bahkan pembelaan? Bagaimana bisa aku
percaya ia mengkhianati cinta yang terukir 7 tahun itu hanya untuk seorang
lelaki tua yang bahkan lebih pantas jadi bapaknya?
Kenyataan? Fakta? Semuanya terdengar selayaknya sampah di telingaku.
Aaah… bolehkah aku tidur hanya untuk terbangun
dan menyadari semua ini tak nyata adanya?
* * *
‘Apa
kira-kira dia bisa kembali bekerja?’
‘Dokter
Hana bilang dia masih berusaha mengatasi shock-nya, Pak. Segera setelah dia
bisa mengatasinya, saya yakin dia masih mampu bekerja.’
‘Semoga
tidak lama. Rumah sakit ini kan harus jaga nama!’
Ari menghela nafas berat. Tanpa sadar, ia sudah
mengaduk cangkir yang sama lebih dari 7 menit. Berkali-kali sudut matanya
menoleh untuk memastikan sosok Yano masih ada diruangan sebelah, masih
baik-baik saja, dan tak melakukan sesuatu yang bodoh. Namun jelas pikiran
lelaki tegap itu tengah berada di banyak tempat hingga semuanya jadi terlalu
letih untuk kembali dan mengumpulkan keseluruhannya dalam satu potret untuk
dipandang.
Hihihihi.
PRANG!! Cangkir itu jatuh dan berhamburan, pecah
berserakan di lantai.
“Ari?” panggil Yano samar-samar, khawatir.
“Nggak apa-apa, Yan! Gue Cuma tergelincir! Ga
usah kesini, biar gue yang beresin ya!”
Ia mencoba berbicara setenang mungkin, namun
denyut jantungnya yang menggedor biliknya dengan kekuatan dan kecepatan penuh
tak bisa menyangkal.
Apakah benar dia baru saja mendengar tawa khas
perempuan jalang itu?
“Jangan bodoh. Dia sudah mati! Kau sendiri yang
memastikannya.” Bisik Ari terlalu perlahan, pada dirinya sendiri. Ia berusaha
mengontrol tremor hebat pada tangannya, namun berulang kali gagal. “Ah!!
Anjing!” makinya nelangsa.
Ini bukan kali pertama tawa itu terdengar. Sejak
kematian perempuan itu, ini sudah ke 3 kalinya suara itu terdengar. Awalnya Ari
berpikir itu hanya ilusi yang diciptakan syaraf yang tegang berpadu dengan
kimiawi yang tak seimbang. Namun kebetulan bernama ilusi-pun tak akan mampir
berkali-kali, bukan?
Apakah ini pertanda bahwa ada sisi hatinya yang
melirihkan penyesalan?
Tak mungkin.
Ia sudah berusaha menahan segala asa untuk
melenyapkan perempuan itu dari muka dunia sejak Yano memperkenalkan perempuan
itu ke hadapan wajahnya. Ia telah lelah menghabiskan malam-malam dengan ribuan
rencana kematian-tak-terduga sebelum melihat jalan yang ditunjukkan Tuhan
padanya untuk menghabisi perempuan itu tanpa jejak.
Dan ketika saat membahagiakan yang dramatis itu
tiba, seharusnya, selayaknya, ia hanya diselimuti kebahagiaan karena telah
menang, bukan?
Tapi kenapa tawa perempuan itu selalu
berkumandang seakan menyiratkan bahwa dialah—perempuan jalang yang sudah mati
itulah—yang selayaknya menang??
“Sialan!!”
* * *
Terkadang aku bangun hanya untuk menikmati
permainan cahaya yang menembus gorden. Entah kenapa cahaya matahari di villa
Ari ini bisa datang dari sudut yang begitu pas hingga tariannya seakan dipandu
oleh koreografi andal.
Hanya itulah satu-satunya pelipurku. Karena setiap
kali terbangun aku harus menghadapi ketiadaan keberadaan Nia lagi dan lagi.
Aku telah menghabiskan banyak waktu untuk
menjelajahi setiap kemungkinan bahwa yah, bisa saja kan, terjadi kesalahan dan
Nia masih hidup? Dia akan datang dan menjelaskan bahwa semuanya baik-baik saja—dan
kami bisa kembali hidup dalam gelora kebahagiaan seperti selayaknya.
Tapi di sudut manapun aku mencari, Nia tak
pernah ada atau kembali—karena ia memang sudah dikubur, mati.
“Yan… Lo belom makan seharian ini, Yan… Gue udah
bikin bubur ayam kesukaan lo, lho… Makan ya, Yan?”
Sosok Ari datang dan mengabur, lalu tenggelam
dalam sengatan cahaya. Suaranya terkadang jelas, namun terkadang seakan datang
dari tempat yang benar-benar jauh. Aku ingin membuka mulut lalu memanggilnya,
hanya agar ia bisa lebih mendekat lalu memegangiku agar tak kemana-mana. Tapi layaknya
kesadaranku yang kini tak lagi ada di bawah kehendakku, begitu pula kata-kata
dan imajiku.
“…jangan begini, Yan…”
Tetes-tetes hangat air membasahi sisi kepalaku,
jatuh bergulir, menetesi dan membasahi pundak bahuku.
“Maaf, Yan… Maaf… Tapi gue mohon jangan jadi
kayak gini, Yan… Lo masih bisa menemukan ribuan perempuan lainnya, tapi gue
mohon jangan hancur karena perempuan itu, Yan… jangan jadi begini, Yan… Ga
sanggup gue ngeliat lo kayak gini, Yan.. Tolong…”
Ari memelukku erat. Tubuhnya yang lebih atletis
dari milikku sendiri gemetar hebat. Ia terisak dengan nafas berat, menyuarakan
kepedihan dengan cara yang paling lemah. Ia yang tak pernah menundukkan
kepalanya untuk orang lain, kini mengiba untukku?
Ya, seorang Ari mengiba untukku.
“Lo punya gue, Yan… Gue ga akan ninggalin lo.. Gue…
Gue sa.. sayang banget sama lo, Yan… sayang banget…”
Apa?
“Ya, Ri… Maaf ya… gue juga sayang sama lo…”
Seandainya saja aku tahu apa yang sebenarnya tengah aku katakan…
* * *
“Dok, wajah anda pucat sekali! Mau saya ambilkan
vitamin atau sesuatu?”
“Tidak usah, terima kasih, Len.” Ari menghela
nafas letih dan bersiap membersihkan diri setelah berhasil mengoperasi 2
pasiennya sekaligus hari itu. Tak ada waktu istirahat, walau ia sudah tak tidur
semalaman. Karena ia harus segera pergi ke villa-nya yang berjarak 2 jam
perjalanan untuk memastikan kondisi Yano.
“Pasti berat ya, Dok, tiap hari bolak-balik mengurus
pekerjaan dan dokter Yano? Kenapa dokter tidak memasukkan dokter Yano ke rumah
sakit saja sih, dok? Biar lebih…” segera perawat itu terdiam setelah melihat
kebengisan yang tiba-tiba muncul dari sudut mata Ari.
“Saya ini sahabat Yano sejak 15 tahun yang lalu,
saya lebih mengerti dia dibanding dokter-dokter itu! Tidak usah mencampuri
urusan saya atau Yano, karena kamu bukan siapa-siapa! Mengerti?” gelegar amarah
Ari membuat beberapa perawat yang tengah berada di ruangan yang sama gemetar
ketakutan.
“Ma…Maaf dok…” rintih Lena lemah.
Ari menghela nafas keras dan berjalan melewati
semua orang, dan keluar dari ruang operasi itu. Ia hanya punya beberapa menit
untuk meredakan keletihannya di bawah siraman air panas sebelum berpakaian dan
berjalan setengah-berlari menuju parkiran.
Ah,
Yano… seandainya saja bisa, aku tak akan meninggalkanmu. Tak sedetikpun. Aku
ingin terus ada di sisimu, menjadi satu-satunya orang yang kau butuh atau
inginkan… Yano-ku, tunggulah, aku akan segera ke sana…
Ari bergegas
membuka kunci mobilnya, melompat ke dalamnya, dan menjalankan mobilnya dengan
tergesa-gesa. Ia nyaris saja menabrak salah satu mobil yang terparkir di
sebelahnya saat ia berusaha keluar.
Hihihihi…
“Aaah!!” BRAKK!
Ari benar-benar menabrakkan mobilnya sendiri ke
salah satu tiang tempat parkir.
Apa itu?
Suara apa tadi? Perempuan itu lagi-kah?
“Pak Ari!! Bapak tidak apa-apa? Bapak luka
nggak, pak?” sosok satpam segera berdatangan untuk mengecek keadaannya. Ari hanya
melambai dengan tak sabar sebelum membelokkan mobilnya dengan tajam, nyaris
menabrak salah seorang dari satpam yang menghampirinya, lalu menancapkan gas,
melarikan mobilnya ke jalanan raya yang tengah ramai.
Ari…
Tubuh lelaki itu langsung mengejang saat suara
yang sangat dikenalnya itu kini telah lebih dari sekedar tawa.
Ari…
Bagaimana kalau Yano sampai tahu kau yang membunuhku, ya…
“Diam!!” jerit Ari sembari memukul dashboard.
Dia
tak akan memaafkanmu, Ari… bisik suara itu,
setengah bernyanyi.
“Dia… Yano.. Yano pasti akan mengerti! Ya! Dia pasti
mengerti!!”
Yano
akan meninggalkanmu jika dia tahu apa yang sudah kau lakukan, Ari…
“Tidak!! kau salah, perempuan jalang! Yano tak
akan kemana-mana! Dia hanya punya aku! Dia MILIKKU!”
Dia
akan menyebutmu menjijikkan jika dia
tahu bagaimana perasaanmu yang sebenarnya! Hahaha!
“DIAAAAAAM!!”
Mobil itu tergelincir saat Ari tak lagi mampu
menahan laju atau alurnya. Berkali-kali, bagai ballerina yang tengah melakukan pirouette en dehors, mobil itu berputar
di tengah jalan raya, untuk beberapa kali tertabrak hingga akhirnya berguling
ke sisi jalan.
Terdiam layaknya kalam yang tenggelam.
* * *
TUNGGU LANJUTANNYA DI : "TERSAMPAIKAN"
Salam kenal kaka :)
BalasHapuswkwkwkwk. salam kenal juga @izal.. kalo cuma mau salam ada cbox kok. hahahaha.
BalasHapuscerpennya bagus bgt ci...aq salut ma bakat nulis kamu...musicnya jug mendukung buat melow2 ne..*sedot ingus...
BalasHapus@kiky: iyaaaa musiknya bikin melo banget kan yaa huwaaa *sedot ingus bareng* maachi :-*
BalasHapusini lanjutannya yang kemarin nggak sih mbak?
BalasHapus@daka: iya dak, kenapa? perpindahannya kurang rapi ya? hahahaha. maklum, ini kan perpanjangan kisah yang dipaksakan, kayak tersanjung. wkwkwk.
BalasHapussedikit sih mbak, tapi gapapa masih bisa ngerasain feelnya :D
BalasHapusTubuhnya yang lebih atletis dari milikku sendiri gemetar hebat. itu milikku yg mana ya mba suci? oiya maksudnya yg sayang itu si ari homo atau apa ya? *maaf* soalnya masih kurang ngerti ditambah kata yg dia cuman milikku hehehe. ditunggu post yg berikutnya di pourix :D
BalasHapusMenikmati lanjutan cerita yang kemarin sobat
BalasHapusSekarang ada nuansa horornya dan saya semakin yakin kalau Ari ternyata punya kelainan
ikutin lomba ci cerpennya, lagi banyak tuh GA- di blog tetangga,, hihi..
BalasHapusklo liat gambarnya jadi ingat tragedi xenia maut, hhha
Saya selalu ingin menulis cerpen, dan belum berhasil sampai kini. ditunggu lanjutan cerpen kerennya :)
BalasHapus@daka: pyuuhh. aduh yang bagian ketiga lebih susah lagi transisinya. hahaha.
BalasHapus@herlus: iya sodara, ari itu homo. yang kalimat itu sudut pandang pertamanya Yano. hahaha. susah ya kalo ganti2 sudut pandang? maap >.<
@riki: iyaaa.. Ari itu homooo. cocok ga ya bagian horornya? uummm..
BalasHapus@tito: gue ga pede ikutan lombaaa :(( iya ya -___- padahal ini idenya sebelum gue tau ada kejadian itu lho. hahahaha. pas abis.
@senja: ayo semangaaaat! ^^
teruskan menulis cerpennya ya Ci, aku belom sempet baca yang sebelumnya. sambil ngubek2 lagi :D
BalasHapusoh kan bener homo hehehe,ditunggu kelanjutannya mba :D
BalasHapusNah khan beneran homo, hehehe
BalasHapusHorornya kurang sedikit greget sobat, tapi sukses membuat saya merinding baca sendirian tadi malam
ditunggu kelanjutannya sobat ^^
Oia sekalian, ada bingkisan buat sobat
diambil yaaa
Wah harus membaca awalnya nih biar bisa tahu alur ceritanya dari awal...
BalasHapusThanks share cerpennya sobat
ternyata dirimu juga seorang penulis handal Ci...keren... aku lanjut dulu ya ke lanjutannya....
BalasHapusfollback sukses :)
BalasHapusKeren kak! ternyata yang ngebunuh ari yaa? baru ngerti. hehe
BalasHapus@yankmira: hehehe sip mbaaak ^^
BalasHapus@herlus: huahahaha iyaaa dia homo, padahal gantengan Ari daripada Yano. wkwkwk
@riski: makasi ya bingkisannyaaa ^^ ntar habis nyelesaiin cerbung ini gue bikin posting soal awardnya yaaa *kisskiss
@cardiacku: oke deh ^^ sama-samaa, makasi juga udah baca+komen yaa..
BalasHapus@alaika: baru belajar nih mbaak. hehehe. makasi ya mbaak ^^
@emelia: iyaaa padahal kan kemarin Nia nya udah mau sembuh, eh.. si Ari bunuh. hahahaha.. ngenes yak.
ayoo mana lanjutannyaaa???
BalasHapus*penasaran
*mrinding
*geli ... Ariii oy Ariii
qiqiqiqi
wah,,
BalasHapusbaru bisa baca..
lagi seru2na napa dpotong --"
kpan lanjutannya mbak ?
oalaaaaah gak nyangka bakal berakhir kayak gini...
BalasHapus@risa & @galau : lanjutannya udah ada nih gan (akhirnya kelar juga. huffhhness. wkwkwk)
BalasHapushttp://sucinabbila.blogspot.com/2012/01/tersampaikan.html
@inggit: belooom! masih ada satu lagiii hahahaha
....saya jadi inget kata orang inggris sana. "The enemy of my enemy is my friend." :D
BalasHapusBisa dimodifikasi. "The killer of my wife is my friend." ^^